Latar Belakang Lahirnya Nahdlatul Ulama

Oleh: Jalil Abdi Rahman, S.Ag

Ada tiga alasan yang melatarbelakangi lahirnya Nahdlatul Ulama 31 Januari 1926:

  1. Motif Agama. Nahdlatul Ulama lahir atas semangat menegakkan dan mempertahankan Agama Allah di Nusantara, meneruskan perjuangan Wali Songo. Terlebih Belanda-Portugal tidak hanya menjajah nusantara, tapi juga menyebarkan agama Kristen-katolik dengan sangat gencarnya. Mereka membawa para misionaris-misionaris kristiani ke berbagai wilayah.
  2. 2.      Motif Nasionalisme. NU lahir karena niatan kuat untuk menyatukan para ulama dan tokoh-tokoh agama dalam melawan penjajahan. Semangat nasionalisme itu pun terlihat juga dari nama Nahdlatul Ulama itu sendiri yakni Kebangkitan Para Ulama. NU pimpinan Mbah Hasyim Asy’ari sangat nasionalis. Sebelum RI merdeka, para pemuda di berbagai daerah mendirikan organisasi bersifat kedaerahan, seperti Jong Cilebes, Pemuda Betawi, Jong Java, Jong Ambon, Jong Sumatera, dan sebagainya. Tapi, kiai-kiai NU justru mendirikan organisasi pemuda bersifat nasionalis. Pada 1924, para pemuda pesantren mendirikan Syubbanul Wathon (Pemuda Tanah Air). Organisasi pemuda itu kemudian menjadi Ansor Nahdlatoel Oelama (ANO) yang salah satu tokohnya adalah pemuda gagah, Muhammad Yusuf (KH M. Yusuf Hasyim -Pak Ud). Selain itu dari rahim NU lahir lasykar-lasykar perjuangan fisik, dikalangan pemuda muncul lasykar-lasykar Hizbullah (Tentara Allah) dengan panglimanya KH. Zainul Arifin seorang pemuda kelahiran Barus Sumatra Utara 1909, dan di kalangan orang tua Sabilillah (Jalan menuju Allah) yang di  komandoi KH. Masykur.

Sejarah mencatat, meski bangsa Indonesia telah memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, 53 hari kemudian NICA (Netherlands Indies Civil Administration) nyaris mencaplok kedaulatan RI. Pada 25 Oktober 1945, 6.000 tentara Inggris tiba di Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya. Pasukan itu dipimpin Brigadir Jenderal Mallaby, panglima brigade ke-49 (India). Penjajah Belanda yang sudah hengkang pun membonceng tentara sekutu itu.

Praktis, Surabaya genting. Untung, sebelum NICA datang, Soekarno sempat mengirim utusan menghadap Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari di Pesantren Tebuireng, Jombang. Melalui utusannya, Soekarno bertanya kepada Mbah Hasyim, “Apakah hukumnya membela tanah air? Bukan membela Allah, membela Islam, atau membela Al-Qur’an. Sekali lagi, membela tanah air?”

Mbah Hasyim yang sebelumnya sudah punya fatwa jihad kemerdekaan bertindak cepat. Dia memerintahkan KH. Wahab Hasbullah, KH Bisri Syamsuri, dan kiai lain untuk mengumpulkan kiai se-Jawa dan Madura. Para kiai dari Jawa dan Madura itu lantas rapat di Kantor PB Ansor Nahdlatoel Oelama (ANO), Jalan Bubutan VI/2, Surabaya, dipimpin Kiai Wahab Hasbullah pada 22 Oktober 1945.

Pada 23 Oktober 1945, Mbah Hasyim Asy’ari atas nama Pengurus Besar NU mendeklarasikan seruan jihad fi sabilillah, yang kemudian dikenal dengan Resolusi Jihad. Ada tiga poin penting dalam Resolusi Jihad itu. Pertama, setiap muslim – tua, muda, dan miskin sekalipun- wajib memerangi orang kafir yang merintangi kemerdekaan Indonesia. Kedua, pejuang yang mati dalam perang kemerdekaan layak disebut syuhada. Ketiga, warga Indonesia yang memihak penjajah dianggap sebagai pemecah belah persatuan nasional, maka harus dihukum mati.

Jadi, umat Islam wajib hukumnya membela tanah air. Bahkan, haram hukumnya mundur ketika kita berhadapan dengan penjajah dalam radius 94 km (jarak ini disesuaikan dengan dibolehkannya qashar salat). Di luar radius itu dianggap fardu kifayah (kewajiban kolektif, bukan fardu ain, kewajiban individu).

Fatwa jihad yang ditulis dengan huruf pegon itu kemudian digelorakan Bung Tomo lewat radio. Keruan saja, warga Surabaya dan masyarakat Jawa Timur yang keberagamaannya kuat dan mayoritas NU merasa terbakar semangatnya. Ribuan kiai dan santri dari berbagai daerah -seperti ditulis M.C. Ricklefs (1991), mengalir ke Surabaya. Meletuslah peristiwa 10 November 1945 yang dikenang sebagai hari pahlawan. Para kiai dan pendekar tua membentuk barisan pasukan non reguler Sabilillah yang dikomandani oleh KH. Maskur. Para santri dan pemuda berjuang dalam barisan pasukan Hizbullah yang dipimpin oleh H. Zainul Arifin. Sementara para kiai sepuh berada di barisan Mujahidin yang dipimpin oleh KH. Wahab Hasbullah. Perang tak terelakkan sampai akhirnya Brigadir Jenderal Mallaby tewas.

  1. Motif Mempertahankan Faham Ahlussunnah wal Jamaah. NU lahir untuk membentengi umat Islam khususnya di Indonesia agar tetap teguh pada ajaran Islam Ahlussunnah wal Jamaah (mengikuti Sunnah Nabi, Sahabat, Tabi’in dan  para Ulama), sehingga tidak tergiur dengan ajaran-ajaran baru, diantaranya adalah sebagai berikut,

1. kaum Khawarij dengan pemimpinnya Abdullah bin Abdul Wahab ar-Rasabi yang muncul di masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib r.a. yang berpendapat bahwa orang yang berdosa besar adalah kafir, sehingga ciri khas mereka mudah menuduh orang-orang Islam yang tidak sepaham dengan ajarannya sebagai kafir. Bahkan sahabat Ali bin Abi Thalib pun dicap kafir karena dianggap berdosa besar mau menerima tawaran tahkim/perdamaian yang diajukan oleh pemberontak Muawiyyah r.a.

2. Kaum Syi’ah, lebih-lebih setelah munculnya sekte syi’ah Rafidah dan Ghulat. Tokoh pendiri Syi’ah adalah Abdullah bin Saba seorang Yahudi yang pura-pura masuk Islam dan menyebarkan ajaran Wishoya, bahwa kepemimpinan setelah Nabi adalah lewat wasiat Nabi saw. Dan yang mendapatkan wasiat adalah Ali bin Abi Thalib. Sedangkan Abu Bakar, Umar dan Utsman termasuk perampok jabatan.

3. Aliran Mu’tazilah yang didirikan oleh seorang tabi’in yang bernama Wasil bin Atho’, ciri ajaran ini adalah menafsirkan al-Qur’an dan kebenaran agama ukurannya adalah akal manusia, bahkan mereka berpendapat demi sebuah keadilan Allah harus menciptakan al-manzilah bainal manzilataini, yakni satu tempat di antara surga dan neraka sebagai tempat bagi orang-orang gila.

4. Faham Qodariyyah yang pendirinya adalah Ma’bad al-Juhaini dan Gailan ad-Damsyqi keduanya murid Wasil bin Atho’ dan keduanya dijatuhi hukuman mati oleh gubernur Irak dan Damaskus karena menyebarkan ajaran sesat (bid’ah), ciri ajarannya adalah manusia berkuasa penuh atas dunia ini, karena tugas Allah telah selesai dengan diciptakannya dunia, dan bertugas lagi nanti ketika kiamat datang. Karena menurut mereka semua yang dilakukan oleh manusia adalah kehendak manusia sendiri tanpa ada campur tangan Allah.

5. aliran  Mujassimah atau kaum Hasyawiyyah ciri aliran ini adalah menganggap Allah mempunyai jisim sebagaimana mahluknya yang diawali dengan menafsirkan al-Qur’an secara lafdzy dan tidak menerima ta’wil, sehingga sehingga mengartikan yadullah adalah Tangan Allah. (Lihat Ibnu Hajar al-‘Asqolani dalam Fathul Baari Juz XX hal. 494) … bahkan mereka sanggup mengatakan, bahwa pada suatu ketika, kedua-dua mata Allah kesedihan, lalu para malaikat datang menemui-Nya dan Dia (Allah) menangisi (kesedihan) berakibat banjir Nabi Nuh a.s sehingga mata-Nya menjadi merah, dan ‘Arasy meratap hiba seperti suara pelana baru dan bahwa Dia melampaui ‘Arasy dalam keadaan melebihi empat jari di segenap sudut. [Al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal, h.141.] 

6. Ajaran-ajaran para Pembaharu Agama Islam. Ajaran-ajaran para Pembaharu agama Islam ini dimulai dari Ibnu Taimiyyah (661-728 H / 1263-1328 M atau abad ke 7 – 8 H / 13 – 14 M, yakni 700 tahun setelah Nabi Wafat atau 500 tahun dari masa Imam Syafi’i). Beliau mengaku penganut madzhab Hanbali, tapi anehnya beliau justru menjadi orang pertama yang menentang sistem madzhab. Pemikirannya lalu dilanjutkan muridnya Ibnul Qoyyim al-Jauziy. Aliran ini kemudian dikenal dengan nama aliran salafi-salafiyah yang mengaku memurnikan ajaran kembali ke al-Qur’an dan Hadits, tetapi disisi lain mereka justru mengingkari banyak hadits-hadits Shahih (inkarus sunnah). Mereka ingin memberantas bid’ah tetapi pemahaman tentang bid’ahnya melenceng dari makna bid’ah yang dikehendaki Rasulullah saw, yang dipahami oleh para sahabat dan para ulama salaf Ahlussunnah wal Jama’ah.

Mereka juga membangkitkan kembali penafsiran al-Qur’an-Sunnah secara lafdzy. Golongan Salafi ini percaya bahwa Al-Qur’an dan Sunnah hanya bisa diartikan secara tekstual (apa adanya teks) atau literal dan tidak ada arti majazi atau kiasan didalamnya. Pada kenyataannya terdapat ayat al-Qur’an yang mempunyai arti harfiah dan ada juga yang mempunyai arti majazi. Jika kita tidak dapat membedakan diantara keduanya maka kita akan menjumpai beberapa kontradiksi yang timbul didalam Al-Qur’an. Maka dari itu sangatlah penting untuk memahami masalah tersebut.

Dengan adanya keyakinan bahwa seluruh kandungan Al-Qur’an dan Sunnah hanya memiliki makna secara tekstual atau literal dan jauh dari makna Majazi atau kiasan ini, maka akibatnya mereka memberi sifat secara fisik kepada Allah swt.. (seperti Allah swt. mempunyai tangan, kaki, mata dan lain-lain seperti makhluk-Nya). Mereka juga mengatakan terdapat kursi yang sangat besar didalam ‘Arsy dimana Allah swt duduk (sehingga Dia membutuhkan ruangan atau tempat untuk duduk) diatasnya. Terdapat banyak masalah lainnya yang diartikan secara tekstual. Hal ini telah membuat banyak fitnah diantara ummat Islam, dan inilah yang paling pokok dari mereka yang membuat berbeda dari Madzhab yang lain.

Munculnya Muhammad bin Abdul Wahab di abad ke 12 H / 18 M, lahir di Ayibah lembah Najed (1115-1201 H/ 1703-1787 M) yang mengaku sebagai penerus ajaran Salafi Ibnu Taimiyyah dan kemudian mendirikan madzhab Wahabi. Ia pun mengaku sebagai Ahlussunnah wal Jamaah karena meneruskan pemikiran Imam Ahmad bin Hanbal yang diterjemahkan oleh Ibnu Taimiyyah, tapi sebagaimana pendahulunya, Muhammad bin Abdul Wahab dan pengikutnya pun layaknya kaum Khawarij yang mudah mengkafirkan para ulama yang tidak sejalan dengan dia, bahkan sesama madzhab Hanbali pun ia mengkafirkanya. Di sini, kita akan mengemukakan beberapa pengkafiran Muhammad bin Abdul Wahhab terhadap beberapa tokoh ulama Ahlusunah yang tidak sejalan dengan pemikiran sektenya:

Dalam sebuah surat yang dilayangkan kepada Syeikh Sulaiman bin Sahim seorang tokoh madzhab Hanbali, Muhamad Abdul Wahhab menuliskan: ‘Aku mengingatkan kepadamu bahwa engkau bersama ayahmu telah dengan jelas melakukan perbuatan kekafiran, syirik dan kemunafikan !….engkau bersama ayahmu siang dan malam sekuat tenagamu telah berbuat permusuhan terhadap agama ini !…engkau adalah seorang penentang yang sesat di atas keilmuan. Dengan sengaja melakukan kekafiran terhadap Islam. Kitab kalian itu menjadi bukti kekafiran kalian!” (Lihat: Ad-Durar as-Saniyah jilid 10 hal. 31).

Dalam sebuah surat yang dilayangkan untuk Ibnu Isa yang telah melakukan argumentasi terhadap pemikirannya. Muhammad Abdul Wahhab menvonis sesat para pakar fikih secara keseluruhan. Muhamad Abdul Wahhab menyatakan: “Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah”. Rasul dan para imam setelahnya telah mengartikannya sebagai ‘Fikih’ dan itu yang telah dinyatakan oleh Allah sebagai perbuatan syirik. Mempelajari hal tadi masuk kategori menuhankan hal-hal lain selain Allah. Aku tidak melihat terdapat perbedaan pendapat para ahli tafsir dalam masalah ini.” (Lihat: Ad-Durar as-Saniyah jilid 2 halaman 59).

Berkaitan dengan Fakhrur Razi pengarang kitab Tafsir al-Kabir, seorang ulama’ yang bermadzhab Syafi’i Asy’ary. Dalam karyanya tersebut, Fakhrur Razi menjelaskan tentang beberapa hal yang menjelaskan fungsi gugusan bintang dalam kaitannya dengan fenomena yang berada di bumi, termasuk berkaitan dengan bidang pertanian. Namun Muhammad bin Abdul Wahhab dengan keterbatasan ilmu  terhadap ilmu perbintangan telah menvonisnya dengan julukan yang tidak layak, tanpa didasari ilmu yang cukup. Muhamad Abdul Wahhab mengatakan: “Sesungguhnya Razi tersebut telah mengarang sebuah kitab yang membenarkan para penyembah bintang” (Lihat: Ad-Durar as-Saniyah jilid 10 hal. 355).

Dari berbagai pernyataan di atas maka janganlah kita heran jika Muhammad bin Abdul Wahhab dan para pengikutnya pun mengkafirkan para pakar teologi (mutakallimin) Ahlusunnah secara keseluruhan (Lihat: Ad-Durar as-Saniyah jilid 1 halaman 53), bahkan ia mengaku-ngaku bahwa kesesatan para pakar teologi tadi merupakan konsensus ijma’ para ulama dengan mencatut nama para ulama seperti adz-Dzahabi, Imam Daruquthni dan al-Baihaqi.

Tokoh lain penerus faham salafi Ibnu Taimiyyah adalah muncul pada abad ke 19 di Afghanistan yang bernama Jamaluddin al-Afghani (1838-1898). Ajarannya diteruskan oleh muridnya dari Mesir di abad ke 19 – 20 M yang bernama Muhammad Abduh (1949-1905). Pemikiran Muhammad Abduh menyebar ke berbagai penjuru dunia lewat tulisannya yang dimuat dalam majalah al-Manar. Setelah beliau wafat pada tahun 1905, majalah al-Manar diteruskan oleh muridnya yang bernama Muhammad Rasyid Ridla (1865-1935). Kumpulan tulisan Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridla ini kemudian dibukukan menjadi Tafsir al-Manar..

Tokoh ulama Wahabi yang menjadi rujukan dan panutan saat ini adalah Muhammad Nashiruddin al-Bani seorang dosen Ilmu Hadits di Universitas Islam Madinah yang lahir pada tahun 1915 dan wafat 1 Oktober 1989. Ia dipuja-puja kaum Wahabi-Salafi bahkan dianggap lebih alim dari Imam Bukhori, karena ia men-Tahrij / mengomentari beberapa haditsnya Imam Bukhori (194 – 256 H).

Kemudian dalam perkembangannya, aliran Salafi-Wahabi pun terpecah dalam banyak faksi (kelompok) dengan karakteristiknya masing-masing, tergantung pada imam mana yang diikutinya

Ajaran Salafi-Wahabi Masuk ke Indonesia

Ajaran Salafi-Wahabi ini masuk ke Indonesia mulanya dibawa oleh,

  1. Seorang tokoh besar agama Islam asal Yogyakarta yang bernama Darwis yang aktif dan rutin mengikuti pemikiran Muhammad Abduh-M. Rasyid Ridla lewat majalah al-Manar dan ajaran Wahabi. Ia kemudian dikenal dengan nama KH. Ahmad Dahlan yang pada 18 Nopember 1912 mendirikan organisasi keagamaan Muhammadiyyah.
  2. Syaikh Ahmad Soorkati (1872-1943) asal Sudan yang kalah bersaing dalam Jami’at al-Khair di negaranya, kemudian hijrah ke Indonesia, lalu pada tahun 1914 di Betawi mendirikan organisasi al-Irsyad.
  3. Di Bandung pun muncul A. Hasan yang juga dikenal sebagai Hasan Bandung atau Hasan Bangil, penerus organisasi PERSIS (Persatuan Islam) yang didirikan pada 1923 oleh KH. Zamzam Palembang.
  4. HOS. Cokroaminoto dengan PSII (Persatuan Syarikat Islam Indonesia).

Apa yang Menyebabkan Aliran “Islam Baru” Dapat Menyebar dengan Cepat?

Muhammad bin Abdul Wahab pernah menguji-coba ajaranya kepada penduduk Bashrah, tetapi karena mereka adalah penganut fanatik ajaran Ahlussunnah wal Jamaah, maka usahanya bagaikan menabrak batu karang. Kemudian Muhammad bin Abdul Wahhab menetap di Diriyah dan Pangeran Muhammad ibn Saud (dari Diriyah Najed) setuju untuk saling dukung-mendukung dengan Muhammad bin Abdul Wahhab. Keluarga / Klan Saud dan pasukan/lasykar Wahabi berkembang menjadi dominan di semenanjung Arabia, pertama menundukan Najed, lalu memperluas kekuasaan mereka ke pantai timur dari Kuwait sampai Oman. Orang Saudi juga membawa tanah tinggi ‘Asir dibawah kedaulatan mereka dan pasukan Wahhabi mereka mengadakan serangan di Irak dan Suriah, memuncak pada perampokan kota suci Shi’ah, Karbala tahun 1801.

Pada tahun 1802, pasukan Saudi-lasykar Wahhabi merebut kota Hijaz (Jeddah, Makkah, Madinah dan sekitarnya) dibawah kekuasaan mereka. Hal ini menyebabkan kemarahan Daulah Utsmaniyah Turki, yang telah menguasai kota suci sejak tahun 1517, dan membuat Daulah Utsmaniyah bergerak. Tugas untuk menghancurkan Wahhabi diberikan oleh Daulah Utsmaniyah Turki kepada raja muda kuat Mesir, Muhammad Ali Pasha. Muhammad Ali mengirim pasukannya ke Hijaz  melalui laut dan merebutnya kembali. Anaknya, Ibrahim Pasha, lalu memimpin pasukan Utsmaniyah ke jantung Najed, merebut kota ke kota. Akhirnya, Ibrahim mencapai ibukota Saudi, Diriyah dan menyerangnya untuk beberapa bulan sampai kota itu menyerah pada musim dingin tahun 1818. Ibrahim lalu membawa banyak anggota klan Al Saud dan Ibn Abd Al-Wahhab ke Mesir dan ibukota Utsmaniyah, Istanbul Turki, dan memerintahkan penghancuran Diriyah, yang reruntuhannya kini tidak pernah disentuh kembali. Pemimpin Saudi terakhir, Abdullah bin Saud dieksekusi di Ibukota Utsmaniyah, dan kepalanya dilempar ke air Bosphorus. Sejarah kerajaan Saudi Pertama berakhir, namun, Wahhabi dan klan Al -Saud hidup terus dan mendirikan kerajaan Saudi Kedua yang bertahan sampai tahun 1891.

Perselingkuhan agama – ambisi kekuasaan – kepentingan asing dimulai dari wilayah Najed. Ketika  lasykar Wahhabi – klan al-Saud yang dipimpin Abdul Aziz Ibnu Sa’ud menyusun kekuatan kembali disertai dukungan persenjataan mesin dari sekutu lamanya, Inggris (antek Amerika). Maka awal tahun 1900-an mereka menyerang kembali kota Hijaz yang saat itu di pimpin raja Syarif Husain. Ketika itu Hijaz hanya dibantu oleh Daulah Utsmaniyyah Turki yang sudah mulai lemah, dan akhirnya pada tahun 1924 ketika kekuasaanya sudah mengecil raja Syarif Husain mengasingkan diri ke kepulauan Cyprus dan kekuasaanya diserahkan pada putranya yang bernama raja Syarif Ali. Raja Syarif Ali membuat kota-kota pertahanan baru, tapi lasykar wahabi-klan Ibnu Sa’ud dengan persenjataan canggih berhasil mengepung semua kota, hingga yang tersisa hanya pertahanan di pelabuhan Jeddah. Pada ahir 1925 ketika lasykar wahabi-klan Ibnu Sa’ud berhasil menguasai pelabuhan Jeddah, maka raja Syarif Ali menyerah pada pemberontak. Dari tahun 1925 inilah Hijaz dengan dua kota suci Makkah dan Madinah dikuasai oleh keluarga Sa’ud dan Wahabi. Dan akhirnya tepat tanggal 23 September tahun 1932, Hijaz berubah nama menjadi al-Mamlakah al-‘Arabiyyah as-Sa’udiyyah (kerajaan Arab Sau’di), nisbat kepada nama leluhurnya yakni al-Sa’ud, dengan Ibukotanya Riyadh. Dan tahun 1943 muncullah ARAMCO (Arabian-American Company) yang mengksplorasi minyak Arab Saudi. Dari sejarah itulah, mengapa sampai saat ini Arab Saudi selalu tidak bisa bersuara selain seperti suara Amerika, sekalipun harus berbeda dengan negara-negara Islam lainnya.

Jatuhnya Hijaz ke tangan pemberontak pada 1925 tidak hanya berakibat perubahan pemeritahan, tapi juga merombak total praktek-praktek keagamaan di Hijaz dari yang semula Ahlussunnah wal Jamaah menjadi faham Wahabi. Seperti larangan bermadzhab, larangan ziarah ke makam-makam pahlwan Islam, larangan merokok, larangan berhaji dengan cara madzhab. Bahkan makam Rasulullah saw, sahabat dan tempat-tempat bersejarah pun berencana akan digusur karena dianggap sebagai biang / tempatnya kemusyrikan.

Ketika aliran Salafi-Wahabi berkembang di Dliriyyah maupun Najed itu belumlah membuat risau umat Islam dunia. Tetapi ketika mereka menguasai pusat Islam yakni dua kota suci di Hijaz, maka hal ini menimbulkan dampak yang luar biasa, termasuk dalam persebarannya ke seluruh dunia. Melihat perubahan ajaran yang terjadi di Hijaz, maka hampir semua umat Islam Ahlussunnah wal Jamaah di seluruh dunia memprotes rencana pemerintahan baru di Hijaz yang ingin memberlakukan asas tunggal, yakni madzhab Wahabi.

Kelahiran Nahdlotul Ulama

Protes luar biasa pun muncul di Indonesia, ketika bulan Januari 1926 ulama-ulama Ahlussunnah wal Jammah di Indonesia berkumpul di Surabaya untuk membahas perubahan ajaran di dua kota suci itu. Dari pertemuan tersebut lahirlah panita Komite Hijaz  yang diberi mandat untuk mengahadap raja Ibnu Sa’ud guna menyampaikan masukan dari ulama-ulama Ahlussunah wal Jamaah di Indonesia. Akan tetapi karena belum ada organisasi induk yang menaungi delegasi Komite Hijaz, maka pada tanggal 31 Januari 1926, ulama-ulama Ahlussunnah wal Jamaah Indonesia kembali berkumpul dan membentuk organisasi Induk yang diberi nama Nahdlatul Ulama dengan Rois Akbar KH. Hasyim Asy’ari. Setelah terbentuk, komite Hijaz mengirimkan delegasi sebagai utusan NU menghadap Raja Saudi. Delegasi yang dipimpin oleh KH. Wahab Hasbullah ini mengajukan protes atas langkah kerajaan Saudi yang meminggirkan madzhab empat, menggusur petilasan sejarah Islam, melarang tawassul, melarang ziarah kubur dan lain-lainnya dengan alas an anti syirik dan bid’ah.

Kelahiran NU merupakan muara perjalanan panjang sejumlah ulama’ pondok pesantren di awal abad 20 yang berusaha mengorganisir diri dan berjuang melestarikan ajaran Islam Ahlussunnah Waljamaah, sekaligus mengobarkan semangat nasionalisme melawan colonial Belanda.

Sesuai visinya, diharapkan NU menjadi wadah tatanan masyarakat yang sejahtera, berkeadilan dan demokratis bagi jutaan anggotanya. Hal ini diwujudkan dengan mengupayakan system kebijakan yang menjamin terwujudnya masyarakat sejahtera, melakukan pemberdayaan dan advokasi masyarakat serta menciptakan Ahlaqul Karimah.

Daftar Pustaka :

Al-Milal wa al-Nihal, Al-Syahrastani, Ensiklopedia Bebas ; Wikipedia, Ensiklopedia Islam, Pertumbuhan dan Perkembangan NU, Drs. Choirul Anam.  Bisma Satu Surabaya, Resolusi Jihad dalam Peristiwa 10 November, M. Mas’ud Adnan, Jawa Pos, Telaah Kritis Atas Doktrin Faham Salafi / Wahabi, A. Sihabuddin

Diterbitkan oleh dihya

aku terlahir dalam keadaan telanjang seperti kalian, sekarang sehari-hari saya selalu berpakaian, masih seperti kalian, nanti, ketika mati, hanya kain kafan yang saya kenakan, juga sama seperti kalian.

15 tanggapan untuk “Latar Belakang Lahirnya Nahdlatul Ulama

  1. Simply desire to say your article is as amazing.
    The clarity for your post is simply great and that i could assume you
    are knowledgeable on this subject. Well together with your permission allow me to grasp
    your RSS feed to keep updated with impending post.

    Thank you a million and please keep up the gratifying work.

  2. السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ,

    بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ – أَعُوْذُ بِاللِه مِنَ الشََّيْطَانِ الرَّجِيْمِ

    Pada Buku = RASIONALITAS AL-QUR’AN = Studi Kritis atas Tafsir Al-Manar ( yang membahas kesesatan para Dedemit WAHABI ) = karya – M.Quraish Shihab . MA. = di Halaman 74 nomor 3 menyatakan :

    “ Syaikh Abdul Ghani ar-Rafi , mengajarkannya ( kepada Rasyid Redha al-Mu’tazili ) sebagian dari kitab hadits NAIL al AUTHAR yang dikarang oleh : asy-Syaukani yang bermadzhab Syi’ah Zaidiyah “

    …Ulama Besar Syi’ah dijadikan MASCOT oleh para DEDENGKOT WAHABI…lucu…maksud hati ingin meluruskan AQIDAH ….akhirnya …berkolaborasi dengan Aqidah Syi’ah….Na’udzubillah tsumma Na’udzubillah.

    وَعَلَيْكُمْ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

    لا تجتمع هذه الأمة على ضلا

    “Umat ini tidak akan bersepakat diatas Kesesatan.”

    (HR. Asy-Syafi’I dalam Ar-Risalah)

    http://thesaltasin.wordpress.com/2011/09/16/o/

  3. Hanya mereka yang punya hati bersih akan mampu menerima nasehat dari orang lain. Kerana hati mereka tu membuang segala kepentingan dunianya…kepentingan kebangsaannya . . kepentingan golongannya . . hanyalah ada cinta Allah dan Rasul sahaja . . yang mereka ni sentiasa mengharapkan nasehat dari sahabat lain untuk perbaiki diri. Tapi kalaulah sebaliknya mereka yang marah dan memerah telinganya apabila mendapat nasehat yang menentang pemikirannya, merekalah yang hatinya dicemari lumpur hawa nafsu egoism . . hatinya berpautan pada dunianya sahaja . . pada kedudukannya . . . pada golongannya ” Lagi satu tanda hati seseorang tu dah bersih, perkataannya pun penuh hikmah yang member kesejukan bila mendengarnya , apabila orang lain tu melakukan silap padanya . . dengan segera dia memaafkan tanpa perlu dipohon maaf pelaku tu. Andai dirinya ada bersalahan pada orang lain, segera juga dia memohon maaf atas kesilapannya dan kembali kepada kebenaran. Sesungguhnya Allah amat kasih pada mereka yang pemaaf.” “Yang paling penting . . hati ni kena sentiasa berzikir pada Allah . . sentiasa istighfar akan kesilapan . . dan sentiasa merasakan diri ini kurang . . diri ini hina disisiNya . . barulah hati itu mampu ditarbiyyah menjadi hati jiwa hambaNYA”
    Pada kesempatan ini kira untuk saya ucapkan , selamat Aidilfitri Maaf Zahir Dan Batin masih belum terlewat, Taqobbalalloh minna wa minkum , jazakumullahu khoiron katsiron .

  4. Status Orang yang Tidak berhukum dengan Hukum Allah
    (Tafsir QS al-Maidah [5]: 44)
    Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab Taurat. Di dalamnya ada petunjuk dan cahaya. Dengan Kitab itu perkara orang-orang Yahudi oleh diputuskan para nabi yang berserah diri kepada Allah dan oleh orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka karena mereka diperintahkan untuk memelihara kitab-kitab Allah; mereka menjadi saksi terhadapnya. Karena itu, janganlah kalian takut kepada manusia, tetapi takutlah kepada-Ku. Janganlah kalian menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. Siapa saja yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang allah turunkan, mereka itu adalah orang-orang yang kafir. (QS al-Maidah [5]: 44).

    Sabab Nuzul
    Abu Hurairah ra. bertutur:
    Rasulullah saw. yang sedang duduk di tengah-tengah para Sahabatnya didatangi orang-orang Yahudi. Mereka bertanya, “Wahai Abu al-Qasim, apa yang engkau katakan tentang seorang laki-laki dan perempuan yang berzina?” Beliau tidak mengeluarkan sepatah kata pun kepada mereka hingga Beliau sampai di rumah mereka yang menjadi tempat bacaan. Beliau berhenti di depan pintu dan bersabda, “Aku bersumpah atas nama Allah yang telah menurunkan Taurat kepada Musa. Hukuman apa yang kalian temukan dalam Taurat terhadap orang muhshan yang berzina?” Mereka menjawab, “Wajahnya ditandai hitam, diarak di atas khimar, dan dicambuk.” Ada seorang pemuda di antara mereka yang diam. Ketika Rasulullah saw. melihat pemuda itu, Beliau menegaskan kembali penyumpahannya. Pemuda itu pun berkata, “Jika engkau menyumpah kami maka kami menemukannya di Taurat adalah rajam.” Nabi saw. bertanya, “Apa yang mengawali kalian mengurangi perintah Allah itu?” Dia menjawab, “Ada kerabat dari seorang raja yang berzina, lalu raja itu menunda pelaksanaan rajam. Setelah itu, ada seorang laki-laki yang berpengaruh di tengah masyarakat juga berzina. Ketika hendak dirajam, kaumnya mengelak seraya berkata, “Kami tidak akan merajam sahabat kami jika engkau tidak merajam sahabatmu.” Akhirnya di antara mereka pun terjadi kompromi dengan hukuman ini.” Nabi saw bersabda, “Sesungguhnya aku menghukumi dengan apa yang ada dalam Taurat.” Beliau pun memerintahkan kedua pelaku perzinaan itu dirajam.

    Az-Zuhri menyatakan, “Telah sampai kepada kami bahwa QS al-Maidah ayat 44 ini turun untuk mereka. Nabi saw. juga termasuk dari mereka (maksudnya ar-nabiyyûn al-ladzîna aslamû).” (HR Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Jarir).[1]

    Tafsir Ayat
    Dalam ayat sebelumnya, Allah Swt. mencela kaum Yahudi yang berpaling dari Taurat. Karena ulah tersebut, mereka dinyatakan bukan bagian dari kaum beriman (ayat 43). Setelah itu, Allah Swt. menjelaskan keutamaan Taurat: Innâ anzalnâ at-Tawrah fîhâ hudâ wa nûr (Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab Taurat; di dalamnya ada petunjuk dan cahaya).

    Taurat adalah nama kitab yang diturunkan kepada Nabi Musa as. Ditegaskan, di dalam Taurat itu ada hudâ wa nûr. Menurut al-Jazairi, hudâ adalah sesuatu yang mengantarkan pada maksud; nûr adalah segala sesuatu yang menunjukkan pada sasaran. Dalam konteks ayat ini, al-Jazairi menafsirkannya sebagai petunjuk dari semua kesesatan dan cahaya terang terhadap hukum-hukum, yang mengeluarkan dari gelapnya kebodohan.[2]

    Setelah mendeskripsikan keutamaan Taurat, berikutnya tentang orang-orang yang mengamalkannya. Allah Swt berfirman: Yahkum bihâ an-nabiyyûn al-ladzîna aslamû li al-ladzîna hâdû wa ar-rabbâniyyûn wa al-ahbâr (Dengan Kitab itu perkara orang-orang Yahudi diputuskan oleh para -nabi yang berserah diri kepada Allah serta oleh orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka). An-nabiyyûn di sini adalah para nabi yang diutus setelah Musa as. hingga Isa as.[3] Mereka disifati al-ladzîna aslamû (yang berserah diri). Artinya, mereka menyerahkan kendali mereka kepada Allah Swt. hingga tak tersisa pilihan bagi mereka.[4] Mereka pun tunduk dan patuh pada hukum Taurat dan memutuskan perkara dengannya.

    Patut dicatat, sifat tersebut tidak membedakan mawshûf (perkara yang disifati) dengan yang lain. Ungkapan itu tidak menunjukkan adanya nabi yang tidak berserah diri. Penyebutan sifat tersebut dalam kerangka untuk memuji (shifah mâdihah atau ‘alâ sabîli al-madh),[5] sekaligus sebagai pujian bagi kaum Muslim, dan sindiran terhadap kaum Yahudi, bahwa mereka sesungguhnya telah keluar dari agama para nabi dan tidak lagi mengikuti petunjuk mereka.[6] Adapun penyebutan li al-ladzîna hâdû menunjukkan bahwa hukum Taurat memang khusus untuk kaum Yahudi.[7]

    Kata ar-rabbâniyyûn, bentuk jamak dari ar-rabbânî, menurut Qatadah, Mujahid, dan al-Dhuhak, adalah fukaha. Adapun al-ahbâr, bentuk jamak dari al-habr, berarti orang alim dari kalangan Ahlul Kitab.[8]

    Hukum Taurat itu berlaku hingga diutusnya Isa as. Setelah diutusnya Isa as., Bani Israil diperintahkan untuk berhukum dengan Injil (QS al-Maidah [5]: 46-47). Lalu setelah diutusnya Nabi Muhammad saw., mereka dan seluruh manusia wajib berhukum dengan al-Quran (QS al-Maidah [5]: 47).

    Selanjutnya Allah Swt. berfirman: bimâ [i]stuhfizhû wa kânû ‘alayh syuhadâ’ (karena mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah; mereka menjadi saksi terhadapnya). Huruf bi buntuk menunjukkan sababiyyah. Artinya, mereka semua—para nabi, orang-orang alim dan para pendeta—memutuskan perkara kaum Yahudi dengan Taurat karena memang mereka diperintahkan untuk menjaga dan memelihara Taurat.

    Menurut ar-Razi dan Abu Hayyan al-Andalusi, penjagaan dan pemeliharaan itu meliputi dua hal. Pertama, menjaganya dalam dada mereka dan mempelajarinya dengan lisan mereka. Kedua, menjaganya dengan mengamalkan hukum-hukumnya dan mengikuti syariahnya.[9]

    Mereka pun diperintahkan menjadi saksi atas Taurat. Sebagian mufassir memaknai syuhadâ’ dengan ruqabâ’ (pengawas), artinya menjaga dari perubahan dan penggantian;[10] pengurangan dan penambahan;[11] menjadi saksi bahwa kitab itu benar-benar berasal dari-Nya;[12] serta menjelaskan apa yang tersembunyi di dalamnya.[13] Meskipun demikian, tetap saja ada di antara kaum Yahudi yang berupaya mengurangi, menambah, atau mengubahnya hingga Taurat menjadi sebagaimana saat ini. Realitas ini diberitakan Allah SWT dalam firman-Nya:

    (Tetapi) karena mereka melanggar janjinya, Kami kutuki mereka, dan Kami jadikan hati mereka keras membatu. Mereka suka merobah perkataan (Allah) dari tempat-tempatnya, dan mereka (sengaja) melupakan sebagian dari apa yang mereka telah diperingatkan dengannya, dan kamu (Muhammad) senantiasa akan melihat kekhianatan dari mereka kecuali sedikit diantara mereka (yang tidak berkhianat), maka maafkanlah mereka dan biarkan mereka, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. (QS al-Maidah [5]:13)

    Juga firman Allah Swt:

    Maka kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang menulis Al Kitab dengan tangan mereka sendiri, lalu dikatakannya; “Ini dari Allah”, (dengan maksud) untuk memperoleh keuntungan yang sedikit dengan perbuatan itu. Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka, akibat apa yang ditulis oleh tangan mereka sendiri, dan kecelakaan yang besarlah bagi mereka, akibat apa yang mereka kerjakan. (QS al-Baqarah[2]:79)

    Allah Swt. pun memerintahkan kaum Yahudi pada masa Rasulullah saw. dan sesudahnya untuk melenyapkan sikap-sikap yang dapat membuat mereka tidak konsisten dengan hukum-hukum-Nya. Pertama: takut kepada manusia. Allah Swt. berfirman: Falâ takhsyawû an-nâs wakhsyawni (Karena itu, janganlah kalian takut kepada manusia, tetapi takutlah kepada-Ku).

    Ketika memutuskan perkara dilandasi rasa takut kepada manusia, apalagi manusia yang ditakuti itu sedang dia adili, keputusan hukumnya pasti tidak adil. Takut kepada manusia juga menjadi pangkal penyebab perbuatan menelantarkan hukum-hukum Allah Swt., mengubah, atau mengingkarinya. Oleh sebab itu, mereka harus melenyapkan sikap itu dan menggantinya dengan sikap takut hanya kepada-Nya. Ketakutan terhadap Allah Swt. melahirkan keberanian untuk menghadapi risiko apa pun dalam menjalankan hukum-hukum-Nya.

    Kedua: tamak terhadap harta dan kedudukan. Allah Swt. berfirman: Walâ tasytarû bi ayâtî tsaman qalîla (Janganlah kalian menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit). Ini merupakan larangan terhadap perbuatan memakan harta suht (harta haram, suap dan semacamnya) sebagai imbalan atas tindakan memutarbalikkan Kitab Allah dan mengubah hukum-hukumnya yang mereka lakukan.[14]

    Disamping ayat ini, larangan tersebut juga kita jumpai dalam firman Allah Swt:

    Dan janganlah kamu menukarkan ayat-ayat-Ku dengan harga yang rendah, dan hanya kepada Akulah kamu harus bertakwa. (QS al-Baqarah [2]:41)

    Kemudian Allah Swt. menutup ayat ini dengan firman-nya: Waman lam yahkum bimâ anzalaLlâh faulâika hum al-kâfirûn (Siapa saja yang tidak memutuskan perkasra menurut apa yang Allah turunkan, mereka itu adalah orang-orang yang kafir).

    Para mufassir berbeda pendapat mengenai siapakah yang disebut dengan kâfirûn dalam ayat ini, dzâlimûn dalam ayat 45, dan fâsiqûn dalam ayat 47. Pertama: ayat ini hanya ditujukan untuk kaum kafir, tepatnya kaum Yahudi. Yang berpendapat seperti ini adalah al-Barra’ bin Azib, Abu Shalih, adh-Dhuhak, dan Ikrimah dalam satu riwayat.[15] Di antara alasannya, seorang Muslim yang melakukan dosa besar tidak bisa dinyatakan kafir karenanya.[16]

    Kedua: ayat ini bersifat umum, meliputi semua orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah Swt. Di antara yang berpendapat demikian adalah Ibnu Mas‘ud, an-Nakhai,[17] Ibnu Abbas, Ibrahim, al-Hasan, as-Sudi,[18] Fakhruddin ar-Razi, Ibnu Athiyyah, al-Qinuji, as-Samarqandi, dan Mahmud Hijazi.[19] Alasan utamnya, sekalipun ayat ini turun berkenaan dengan kaum Yahudi, ungkapan kalimat tersebut bersifat umum. Kata man yang menjadi syarat itu memberikan makna umum, tidak dikhususkan kepada kelompok tertentu.[20]

    Pendapat yang kedua ini lebih dapat diterima. Sebab, pemahaman itu didasarkan pada kaidah yang râjih, yakni: Al-‘Ibrah bi ‘umûm al-lafdz wa lâ bi khushûsh as-sabab” (Berlakunya hukum itu dilihat dari keumuman ungkapannya, bukan dari kekhususan sebabnya).

    Status Orang yang Tidak Menerapkan Syariah

    Meskipun bersifat umum, bukan berarti semua orang yang tidak memutuskan perkara dengan hukum Alllah secara langsung dapat digolongkan sebagai kafir. Diperlukan pengkajian secara lebih cermat dan mendalam agar tidak jatuh dalam tindakan takfîr (pengkafiran) yang tidak pada tempatnya.�
    Perbuatan ‘memutuskan perkara dengan hukum Allah’ termasuk dalam wilayah syariah. Secara syar‘i, perbuatan tersebut termasuk dalam hukum wajib karena didasarkan pada dalil-dalil qath‘i (pasti), tsubût (penetapan sumber)-nya maupun dalâlah (penunjukan)-nya.

    Di antara dalil-dalil itu adalah: perintah tegas untuk memutuskan perkara dengan apa yang Allah turunkan dan larangan mengikuti hawa nafsu kaum kafir (QS al-Maidah [5]: 48, 49);� kewajiban menaati Allah Swt. dan Rasulullah saw. dan mengembalikan semua perkara yang diperselisihkan pada keduanya (QS an-Nisa’ [4]: 59); penolakan keimanan orang yang tidak mau berhukum kepada Rasulullah saw.� (QS an-Nisa’ [4]: 65); ancaman ditimpakannya fitnah atau azab yang pedih atas orang yang menyimpang dari perintah Rasulullah saw. (QS an-Nur [24]: 63); celaan terhadap orang yang meminta keputusan hukum kepada thaghût (Qs an-Nisa’ [4]: 60); dan masih banyak lagi lainnya.

    Sebagai persoalan yang termasuk dalam wilayah syariah, meninggalkan kewajiban ini dapat dikategorikan sebagai perbuatan dosa. Tindakan itu seperti halnya memakan riba, membunuh, mencuri, atau berzina. Memang, perbuatan itu termasuk dalam dosa besar, tetapi tidak mengeluarkan seorang Muslim dari agamanya. Pelakunya juga tidak bisa disebut murtad karenanya.

    Status kafir atau murtad baru dapat diberikan apabila sudah pada taraf mengingkari hukum-hukum-Nya. Jika sudah pada taraf pengingkaran, masalahnya bukan sekadar pelanggaran terhadap ketetapan hukum syariah, namun sudah masuk dalam wilayah akidah. Akidah inilah yang menjadi pembeda orang Mukmin dengan orang kafir.

    Sebagaimana telah terpapar kewajiban menerapkan syariah itu didasarkan pada dalil-dalil yang qath’iyy, baik qath’iy al-tsubût maupun qath’iyy al-dalâlah, maka mengingkari wajibnya memutuskan perkara dengan syariah sama halnya dengan mengingkari ayat-ayat tersebut. Sementara, mengingkari sebagian ayat al-Quran sudah cukup mengeluarkan seseorang dari keimanan. Allah Swt berfirman:

    Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada Allah dan rasu-rasul-Nya, dan bermaksud memperbedakan antara (keimanan kepada) Allah dan rasul-rasul-Nya, dengan mengatakan: “Kami beriman kepada yang sebahagian dan kami kafir terhadap sebahagian (yang lain)”, serta bermaksud (dengan perkataan itu) mengambil jalan (tengah) di antara yang demikian (iman atau kafir), merekalah orang-orang yang kafir sebenar-benarnya. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir itu siksaan yang menghinakan (QS al-Nisa’ [4]: 150-151).

    Allah Swt juga berfirman:

    Apakah kamu beriman kepada sebahagian al-Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebahagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian dari padamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat (QS al-Baqarah [2]: 85).

    Demikianlah pendapat para ulama ketika menjelaskan makna ayat ini. Ibnu Abbas mengatakan,

    mengatakan:

    Barangsiapa yang mengingkari apa yang diturunkan Allah, sungguh dia telah kafir. Dan barang siapa mengakuinya namun tidak berhukum dengannya, maka dia adalah dzalim-fasik.[21]

    Ikrimah juga sejalan dengan pendapat tersebut.

    Dia menyatakan :
    “Firman Allah ‘waman lam yahkum bimâ anzalaLlâh’ itu mencakup orang yang mengingkari di hatinya dan mendustakan dengan lisannya. Adapun orang yang mengakui di hatinya keberadaanya sebagai hukum Allah, membenarkan dengan lisannya keberadaannya sebagai hukum Allah, hanya saja dia melakukan yang sebaliknya, maka sebenarnya dia memutuskan dengan hukum Allah, akan tetapi dia meninggalkannya, maka dia tidak termasuk dalam cakupan ayat ini.”[22]

    Abu Hayyan al-Andalusi juga menyitir Ibnu Mas‘ud, Ibnu Abbas, dan al-Hasan yang menyatakan bahwa ayat ini turun untuk orang-orang yang mengingkari hukum Allah dan bersifat umum meliputi semua orang yang mengingkarinya.[23] Az-Zuhaili bahkan menyatakan, pandangan yang demikian itu merupakan pandangan jumhur Ahlussunnah.[24]

    Bertolak dari paparan di atas, jelaslah status kafir diberikan kepada orang yang mengingkari kebenaran, kelayakan, dan kewajiban berhukum dengan hukum Allah Swt. Namun jika masih meyakini kebenaran, kelayakan, dan kewajiban berhukum dengan hukum Allah, statusny yang diberikan adalah dzalim dan fasik.

    Patut ditandaskan, sikap tidak berhukum dengan hukum Allah hanya menyebabkan pelakunya menderita kerugian dan kesengsaraan. Sebab, hanya ada tiga alternatif bagi orang seperti itu, yakni kafir, dzalim, atau fasik (lihat QS al-Maidah [5]: 44, 45, 47). Status kafir tentu yang paling ditakutkan. Pasalnya, status itu akan mengakibatkan seluruh amal perbuatan manusia terhapus dan sia-sia. Allah Swt berfirman:

    Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan mendustakan akan menemui akhirat, sia-sialah perbuatan mereka. Mereka tidak diberi balasan selain dari apa yang telah mereka kerjakan (QS al-A’raf [7]: 147).

    Dengan besarnya sanksi itu, siapa lagi yang masih berani menolak syariah-Nya?

    Wallâh a‘lam bi ash-shawâb. [Oleh: Rokhmat S. Labib, M.E.I.]
    Catatan kaki:

    [1] Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-’Azhîm, vol. 2 (Riyadh: Dar ‘Alam al-Kutub, 1997), 76.

    [2] Al-Jazairi, Aysâr at-Tafâsîr li Kalâm al-‘Aliyy al-Kabîr, vol. I (tt: Nahr al-Khair, 1993), 635.

    [3] As-Suyuti, Ad-Durr al-Mantsûr, vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1990), 506; Ibnu ‘Athiyyah, Al-Muharrar al-Wajîz, vol.2 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 195; Mahmud Hijazi, At- Tafsîr al-Wadhîh, vol. 1 (Dar al-tafsir, 1992), 519; az-Zuhaili, Tafsîr al-Munîr, vol. 5 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1991), 205.

    [4] Al-Biqa’i, Nazhm Durar fî Tanâsub al-Ayât wa al-Suwar, vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 459.

    [5] Az-Zuhaili, Op. Cit., vol. 5, 202; asy-Syaukani, Fathal-Qadîr, vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994), 53; al-Qinuji, Fath al-Bayân, vol. 3 (Qathar: Dar Ihya’ al-Turats al-Islami, 1989), 426; Abu Hayyan al-Andalusi, Tafsîr al-Bahr al-Muhîth, vol. 3 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 503; al-Khazin, Lubâb at-Ta’wîl wa fî Ma’â nî al-Tanzîl, vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 47; Ibnu Juzyi al-Kalbi, At-Tasyhîl li ‘Ulûm al-Tanzîl , vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 238; al-Baidhawi, Anwâr at-Tanzîl, vol. 1, 267.

    [6] Al-Baidhawi, Ibid., vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1988), 267; Ibnu Juzyi al-Kalbi, Ibid., vol. 1, 238; al-Qasimi, Mahâsin at-Ta’wîl, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kutub al-Kutub al-Ilmiyyah, 1997), 144.

    [7] Az-Zuhaili, Op. Cit., vol. 5, 205.

    [8] As-Suyuti, Op. Cit., vol. 2, 506; ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1992), 590. al-Baghawi, Ma‘âlim al-Tanzîl, vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994), 33; al-Jazairi, Op. Cit., vol. I, 635, dan Ibnu ‘Athiyyah, Al-Muharrar al-Wajîz, vol.2, 195.

    [9] Ar-Razi, At-Tafsîr al-Kabîr, vol. 12 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1990), 5; Abu Hayyan al-Andalusi, Op. Cit., vol. 3, 504.

    [10] Asy-Syaukani, Op. Cit., vol. 2, 53; al-Qinuji, Op. Cit., vol. 3, 426; az-Zamakhsyari, al-Kasyâf, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 624

    [11] Al-Jazairi, Op. Cit., vol. I, 635.

    [12] Az-Zuhaili, Op. Cit., vol. 5, 206.

    [13] Al-Baidhawi, Op. Cit., vol. 1, 268

    [14] Ath-Thabari, Op. Cit., 591; al-Baidhawi, Ibid., 268

    [15] Ath-Thabari, Ibid., vol. 10, 593.

    [16] Al-Khazin, Lubâb al-Ta’wîl, vol. 2, 48.

    [17] Al-Qinuji, Op. Cit., vol. 3, 428; al-Khazin, Ibid., vol. 2, 48.

    [18] Ath-Thabari, Op. Cit., vol. 10, 593; al-Wahidi an-Naysaburi, Al-Wasîth fî Tafsîr al-Qur’ân al-Majîd, vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994), 191.

    [19] Ar-Razi, Op. Cit., vol. 12, 6; Ibnu ‘Athiyyah, Op., cit., vol.2, 196; Abu Hayyan al-Andalusi, Op. Cit., vol. 3, 55; al-Qinuji, Op. Cit., vol. 3, 427; as-Samarqandi, Bahr al-‘Ulûm, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 439; Mahmud Hijazi, At-Tafsîr al-Wadhîh, vol. 1 (Kairo: Dar al-Tafsir, 1992), 519.

    [20] Ar-Razi, Ibid., vol. 12, 6; asy-Syaukani, Op. cit., vol. 2, 53; al-Qinuji, Ibid., vol. 3, 428.

    [21] Ath-Thabari, Op. Cit., vol. 10; al-Wahidi, al-Wasîth fî Tafsîr al-Qur’ân al-Majîd, vol. 2, 191; Ibnu Katsir, Op. Cit., vol. 2 , 80; asy-Syaukani, Ibid., vol. 2, 56; as-Samarqandi, Ibid., vol. 1, 439.

    [22] Ar-Razi, Op. Cit., vol. 12, 6; az-Zuhaili, Op. Cit., vol. 5, 208.

    [23] Abu Hayyan al-Andalusi, Op. Cit., vol. 3, 503

    [24] Az-Zuhaili, Ibid., vol. 5, 206.

  5. Penjara Besar yang Membuat Kita Lemah
    Ada pertanyaan berulang ditengah-tengah masyarakat , kenapa kita tidak bisa menghentikan kebiadaban Israel? Kenapa penguasa-penguasa Arab dan negeri Islam lainnya memilih diam? Kenapa PBB yang mengklaim sebagai organisasi internasional malah terkesan menjadi pengamat terhadap keganasan Israel?
    Paling tidak ada tiga ‘penjara besar’ yang membuat kita meskipun dengan jumlah penduduk lebih dari 1,5 milyar seluruh dunia lumpuh menghadapi Israel dengan jumlah penduduk total sekitar 5,5 juta jiwa. Pertama adalah nasionalisme dengan sistem negara bangsa (nation state). Dengan sistem negara bangsa, umat Islam yang tadinya bersatu di bawah naungan negara Khilafah kemudian dipecah-pecah menjadi negara kecil dan lemah.
    Diperparah dengan ide nasionalisme yang menjadi racun yang membunuh persaudaraan dan persatuan umat Islam. Logika nasionalisme selalu mengatakan persoalan luar negeri seperti Palestina, Irak, Afghanistan bukan persoalan kita, kita lebih baik memikirkan kepentingan nasional kita saja!
    Justru sikap ini yang membuat kita lemah dan membuat negara-negara kafir penjajah berbuat seenaknya terhadap umat Islam. Mereka tidak takut secara bergilirian menyerang negeri-negeri Islam karena mereka tahu negara-negara muslim lainnya akan diam.
    Ini tidak akan terjadi kalau negara-negara kafir itu melihat umat Islam bersatu. Kalau umat Islam bersatu, satu negeri Islam diserang, seluruh negeri Islam akan mengirim jutaan tentara-nya yang didukung umat Islam yang rindu syahid fi sabilillah untuk membebaskan saudaranya.
    Menghadapi Hamas , Hizbullah di Libanon Selatan, dan mujahidin Irak dan Afghan-istan , saja mereka sudah kewalahan. Apalagi kalau negara-negara penjajah itu menghadapi puluhan juta tentara Islam dengan persenjataan mereka yang tentu lebih canggih. Pastilah musuh-musuh Allah SWT akan ketakutan. Apalagi yang mendorong tentara-tentara Islam itu bukanlah kekuatan materi tapi aqidah Islam. Tentara Islam akan menjadi tentara yang ditakuti oleh lawan.
    Penjara besar kedua adalah penguasa-penguasa negeri Islam yang berkhianat pada Allah SWT, Rasulululah SAW dan umat Islam. Penguasa umat Islam sekarang sebagian besar adalah antek-antek Amerika Serikat , kaki tangan penjajah, yang lebih memilih berkhidmat kepada penjajah daripada melindungi dan melayani umat Islam. Padahal Rasulullah SAW telah mengingatkan fungsi utama pemimpin adalah melindungi umatnya. Pemimpin adalah perisai (al junnah).
    Israel , Amerika Serikat, dan negara-negara penjajah lainnya tidak akan seenaknya membunuh umat Islam, kalau mereka tahu ada penguasa Islam yang menjadi pelindung umat yang akan membela rakyatnya. Pemimpin Negara seperti Rasulullah SAW yang menghu-kum mati Yahudi Bani Qainuqa yang membunuh seorang rakyatnya dan mengusir keluar mereka keluar Madinah.
    Rasulullah SAW juga mengirim pasukan Islam untuk mengepung Yahudi Bani Quraizhah selama 25 hari dan menghukum mati para pengkhi-anat karena merekaberkaolisi dengan musuh Daulah Islam dalam perang Ahzab.
    Penjara ketiga, adalah sistem internasional saat ini yang dipimpin oleh Amerika Serikat dengan ideologi Kapitalismenya. AS dan sekutunya membuat hukum internasional dan membentuk lembaga-lembaga internasional yang digunakan sebagai alat kepentingan negara-negara penjajah. PBB digunakan untuk melegalisasi penjajahan terhadap Irak dan Afghanistan.
    Lewat organisasi ini dikirimlah tentara dari berbagai negara untuk menduduki Irak dan Afghanistan. Sebaliknya, tentara-tentara dari negeri Islam berlindung di belakang PBB untuk tidak membantu saudaranya yang dibantai. Alasannya, tidak ada perintah dari PBB. Jadilah PBB mandu.l
    Penghancuran penjara itu hanya bisa dilakukan dengan membentuk kembali Khilafah Islam, sebuah sistem pemerintahan Islam yang berdasarkan manhaj nubuwah. Dengan tegaknya sistem Islam, penguasa -penguasa pengkhianat itu akan tumbang. Digantikan oleh Khalifah yang adil dan melindungi rakyat. Khilafah akan menyatukan negeri-negeri Islam bukan berdasarkan kebangsa-annya tapi atas dasar aqidah Islam. Khilafah juga akan mengimbangi dan mengganti-kan dominasi negara-negara Kapitalis saat ini yang dipimpin AS. Tatanan internasional akan dipimpin oleh Khilafah Islam yang akan memberikan kesejahteraan dan keamanan bagi umat manusia seluruh dunia.

  6. Kondisi umat Islam saat ini sangat memilukan. Mereka yang jumlahnya 1 milyar lebih terpecah-belah menjadi lebih dari 50 negara berdasarkan nasionalisme dalam format negara-bangsa (nation-state). Bahkan mungkin jumlah ini akan bertambah, seiring dengan upaya dan rekayasa licik Barat pimpinan AS untuk semakin mencerai-beraikan berbagai negara di dunia dengan gerakan separatisme dan prinsip “menentukan nasib sendiri� (right of self determinism) melalui legitimasi PBB yang disetir AS. Kasus lepasnya Timor Timur adalah contoh yang amat telanjang di hadapan mata kita.
    Kondisi ini dengan sendirinya membuat umat menjadi lemah dan ringkih sehingga mudah untuk dikendalikan dan dijajah oleh negara-negara kafir imperialis. Prinsip “devide et impera� (farriq tasud) ternyata belum berakhir. Penjajahan yang dulu dilakukan secara langsung dengan pendudukan militer, kini telah bersalin rupa menjadi penjajahan gaya baru yang lebih halus dan canggih. Di bidang ekonomi, Barat menerapkan pemberian utang luar negeri, privatisasi, globalisasi, pengembangan pasar modal, dan sebagainya. Di bidang budaya, Barat mengekspor ide-ide kebebasan melalui film, lagu, novel, radio, musik, internet,? dan lain-lain. Di bidang politik, Barat memaksakan ide masyarakat madani (civil society), demokrasi, hak asasi manusia, pluralisme, dan lain-lainnya. Bentuk-bentuk penjajahan gaya baru ini dapat berlangsung, karena kondisi umat yang terpecah-belah tadi.
    Nasionalisme, dengan demikian, dapat ditunjuk sebagai salah satu biang keladi atau biang kerok perpecahan dan keterpurukan umat yang dahsyat di bawah tindasan imperialisme Barat gaya baru tersebut. Maka dari itu,? salah besar kalau umat Islam terus mengagung-agungkan dan mensucikan ide kafir itu, atau menganggapnya sebagai ide suci yang tidak boleh ditumpas. Padahal, faktanya, nasionalisme telah menghancurleburkan persatuan umat. Umat Islam harus segera mengambil sikap tegas terhadap ide rusak ini dengan menolak dan mengikis habis ide ini dari benak mereka. Jika tidak, neo-imperialisme Barat akan terus berlangsung dan umat pun akan tetap terseok-seok menjalani pinggir-pinggir kehidupan secara nista di bawah telapak kaki para penjajah yang kafir.

    HUKUM MENDIRIKAN DAULAH KHILAFAH
    Segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala , Zat yang menjanjikan kepada kaum Muslimin sebagai penguasa di bumi ( QS. An-Nuur : 55 ) . Shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Rasul Allah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah memberikan contoh dan suri tauladan kepada manusia tentang tata pemerintahan menurut petunjuk Al – Qur’an Al – Karim dan As – Sunnah An Nabawiyah .
    A . DALIL AL-QUR’AN AL-KARIM
    Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberikan peringatan ( tadzkiraoh ) dan petunjuk kepada manusia agar menerapkan hukum – Nya secara totalitas dan meyakini bahwa tidak ada hukum lain didunia ini yang labih baik selain dari yang datang dari – Nya , karena ia terlahir dari sumber yang Maha Benar .
    Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
    “ Dan barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah Subhanahu wa Ta’ala , maka mereka itu adalah orang – orang yang kafir “ (QS.Al-Maidah : 44 ).
    “ Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah dating kepadamu . “ (QS Al-Maidah : 48 )
    “ Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka . Dan hati – hatilah kamu terhadap mereka supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepadamu. “ ( QS.Al-Maidah : 49 )
    Untuk meyakinkan manusia atas kebodohan dan keterbatasannya , sekaligus untuk menampakkan kaagungan diri-Nya Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
    “ Apakah hukum jahiliyyah yang mereka kehendaki , dan ( hukum ) siapakah yang lebih baik daripada ( hukum ) Allah Subhanahu wa Ta’ala bagi orang – orang yang yakin .” ( QS Al – Maidah : 50 ).
    Imam Muslim radhyallahu ‘anhu telah meriwayatkan sebuah hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Nafi’ . ia berkata : “ Telah berkata Umar radhyallahu ‘anhu bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “ Barangsiapa menanggalkan tangannya untuk taat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala , maka ia nanti akan menemui-Nya di hari kiamat tanpa ada alasan apa – apa . Dan barangsiapa mati padahal di lehernya tidak ada bai’at , maka ia telah mati dalam keadaan jahiliyah.” ( HR.. Muslim )
    Perjalanan sejarah umat Islam memaparkan bagaimana para sahabat radhyallahu ‘anhum menunda pemakaman jasad Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebelum terpilihnya seorang khalifah yaitu Abu Bakar radhyallahu ‘anhu sebagai pengganti kepemimpinan ke khilafahan yang telah di tegakkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam , padahal mereka para sahabat mengetahui dengan jalas bahwa mengebumikan dengan segera mayit setelah jelas kematiannya adalah wajib sehingga kesibukan lain diluar pemakaman yang sempurna akan dianggap haram . Hal ini para sahabat lakukan karena pentingnya seorang khalifah pengganti sesudah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam .
    Demikianlah dalam sejarah bagaimana para sahabat memilih para khalifah mulai dari Abu Bakar radhyallahu ‘anhu , Umar Ibn Khattab , Utsman Ibn Affan dan Ali Ibn Abi Thalib demi tegaknya sistem ke khilafahan yang telah mereka terima dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam . Akan tetapi setelah berhasilnya orang-orang kafir barat menghancurkan Daulah Khilafah Islam di Turki pada tahun 1924 , kaum muslimin mulai terjerumus dalam kehidupan yang bergelimang dengan keterpurukkan , kesusahan , kesengsaraan dan keterbelakangan dalam hampir di semua sektor kehidupan dan peradaban manusia . ekses dari ketiadaannya khalifah yang melindungan dan mengimplemintasikan syari’at ditengah –tengah kehidupan manusia sebagai wujud kongkrit dari Islam yang Rahmatan lil “alamin. Mereka tidak bisa lagi menjaga dan mempertahankan diri dari tipu daya musuh – musuhnya .
    Pada akhir perjalan panjangnya , umat Islam terjerumus kedalam lembah perpecahan , masing masing wilayah mendirikan negaranya masing – masing dengan bendera nasionalisme . ( catatan : masalah Khilafah bukan masalah Khilafiyah , Khilafah adalah sistem pemerintahan dalam Islam dan kepala pemerintahannya adalah seorang Khalifah )
    B . DALIL AS-SUNNAH AN- NABAWIYAH :
    Hadits-haditts yang dijadikan sandaran oleh para ulama mengenai wajibnya mendirikan Khilafah sangatlah banyak bertebaran diberbagai kitab hadits . Imam Bukhari radhyallahu ‘anhu membuat pasal khusus dalam kitab shahih nya berkaitan dengan system Khilafah dan praktek hukum Islam . pasal tersebut diberi nama Kitab Al-Ahkam ( Kitab Hukum-Hukum ) , adapun Imam Muslim radhyallahu ‘anhu mengumpulkan hadits-hadits seperti itu dalam kitab Al-Imarah (Kitab Pemerintahan) . Demikian pula tertulis dalam kitab hadits yang lain , sehingga dari situ seorang muslim bias melakukan mujaraah ( kajian ) betapa iqmatul khilafah ( mendirikan system khilafah ) adalah kewajiban mutlak setiap orang Islam . Ia bukan barang bualan yang harus dicampakkan di tong sampah atau bahan-bahan ejekan . ini adalah anjuran yang sangat essensial dan fundamental untuk mengangkat derajat umat Islam di masa mendatang dalam menghadapi tantangan ideology dan isme selain Islam . Rasulullah SAW bersabda: “Bahawasanya Imam itu bagaikan perisai, dari belakangnya umat berperang dan dengannya umat berlindung.” [HR. Muslim]
    C . DALIL IJMA’ SAHABAT .
    Salah satu yang patut diketengahkan mengenai ijma’ berkaitan dengan pembahasan ini adalah adanya kesepakatan fundamental untuk mendirikan system khilafah setelah wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam . Tidak ada satu sahabatpun yang menentang bahwa memilih khalifah atau imam merupakan kebutuhan umat Islam yang sangat essensial .
    D . DALIL QAIDAH ASY-SYAR IYAH .
    Kewajiban agama tidaklah mungkin dapat diterapkan secara komprehensif dan simultan oleh masyarakat Islam tanpa adanya pranata-pranata kongkrit . karenanya ketika pranata itu merupakan alat untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban syari’at ilahiyah yang tanpa itu sulit melaksanakannya atau bahkan tidak mungkin terlaksana maka mendirikan pranata ( khilafah islamiyah ) tentu menjadi kewajiban pula . Dalam kaidah fiqh disebutkan :
    “ Jika suatu kewajiban tidak bisa sempurna kecuali dengannya , maka ia (hukumnya ) adalah wajib “
    E . PENDAPAT PARA ULAMA :
    1. Imam Al-Mawardi : didalam al-ahkam as-sulthaniyah halaman 5 berkata : “ mengangkat imam ( khalifah ) untuk mengurusi umat ( hukumnya) adalah wajib menurut ijma’ “.
    2 . Ibnu Khaldun : di dalam kitab Mukaddimah nya halaman 167 berkata : “ Sesungguhnya mendirikan imarah dan mengangkat imam adalah wajib , hal mana kewajibannya telah diketahui lewat ijma’ sahabat dan para tabi’in sesudahnya , para sahabat sendiri langsung mengangkat dan membai’at Abu Bakar As-Siddiq sebagai khalifah untuk mengurus dan mengambil keputusan essensial umat Islam .
    3 . Al – Haitsami : didalam kitab As-Shawaaiq Al-Muhriqah halaman 17 menerangkan tentang imarah dan khilafah sebagai berikut : “ Ketahuilah ! bahwa para sahabat radhyallahu ‘anhum sepakat atas kewajiban mengangkat imam setelah berakhirnya zaman nubuwwah ( era kenabian ) Sehingga mereka menjadikannya sebagai kewajiban paling penting . itu yang terjadi ketika secara aklamasi dan dalam waktu yang singkat mereka menunjuk seorang khalifah di saat kesibukan mereka mengurusi pemakaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
    4 . Imam Nawawi : didalam kitab syarah shahih Muslim juz XII halaman 205 memberikan pendapat bahwa : “ Para ulama sepakat bahwa mengangkat seorang khalifah atas kaum muslimin itu hukumnya wajib .”
    5 . Imam Haramain : didalam kitab Giyaats Al-Umam berpendapat “ Telah menjadi kesepakatan ulama dari berbagai penjuru dunia , bahwa membangun sistem khilafah yang akan menaungi umat Islam dengan hukum – hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul Nya adalah wajib “.
    6 . Imam Al-Iji dan Al – Jurjani : didalam kitab Al-Mawaaqib halaman 603 menerangkan : “ Sesungguhnya adalah mutawatir mengenai kesepakatan kaum muslimin pada decade awal setelah wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk tidak mengosongkan waktu barang sebentarpun dari hadirnya seorang imam , sampai berkata Abu Bakar Ash Shiddiq radhyallahu ‘anhu mengenai pengangkatan seorang imam itu dalam pidato pelantikannya yang sangat masyhur pada saat wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam : “ Ketahuilah ! Sesungguhnya Muhammad telah wafat , sudah sepatutnya ada orang yang diangkat untuk mengurus agama ini .” Lalu mereka menerima usulan Abu Bakar dan rela meninggalkan urusan yang sangat besar dan teramat penting yaitu penguburan jasad Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri . Tradisi seperti ini terus berlangsung sampai beberapa dekade sesudahnya , hal mana kemasylahatan umat diserahkan kepada seorang imam yang adil , yang mampu mengakomodir berbagai kepentingan strata sosial masyarakat dan mampu mancari solusi dari problematika melalui penerapan hukum-hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala yang tertuang dalam nash-nash Al-Qur’an dan Al-Hadits .
    7 . Syeikh Abdur Rahman Abdul Khaliq : berkata dam kitab Asy – Syuro : “ Yang dimaksud dengan imamah ‘ammah atau khilafah ialah wadah tempat menggantungkan diri yang dari padanya berdiri tegak syari’at Allah Subhanahu wa Ta’ala dan hukum – hukum – Nya melalui teks Qur’an dan Hadits . Semua orang muslim sepakat mengenai kewajiban dan kelaziman mendirikannya , serta berdosa bagi mereka yang hanya berpangku tangan , duduk mendengkur tidak mau beranjak dari tempat duduknya untuk bersegera mendirikannya “.
    8 . Imam Ibnu Hazm Al – Andalusi : dalam kitab Al – Muhalli Juz I halaman 46 berkata : “ Imam diangkat agar bisa membimbing manusia untuk mendirikan sholat , mengambil dari mereka shadaqah atau zakat dan hukuman pelanggaran yang mereka kerjakan , melaksanakan hukum – hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala serta berjidad terhadap musuh – musuh mereka “ .
    9 . Imam An – Nasari : didalam kitab Al – Aqaaid halaman 142 berkata : “ Di – antara umat Islam hendaknya ada seorang imam yang melaksanakan hukum-hukum dan sangsi-sangsi terhadap umat sesuai syari’at agama , menumpas tipu daya musuh – musuh mereka , menyiapkan tentara – tentara untuk menegakkan kalimat Allah Subhanahu wa Ta’ala atas penentangnya , mengambil shadaqah dan zakat dari umat Islam serta pajak dari non muslim yang tidak membahayakan kehidupan umat Islam “
    10 . Allamah Sayyid Al – Iji : berkata dalam kitab Al – Mawaaqif : “ Kami mengetahui walau sebatas yang pokok , bahwa maksud syar’i ( Allah Subhanahu wa Ta’ala ) yang diterangkan – Nya dalam masalah – masalah mu’amalat , munakahat , jihad , tahkim , penjelasan teori da’wah secara individual maupun sosial adalah untuk kemaslahatan makhluk –Nya di Dunia dan di Akhirat . Secara riil yang demikian itu , tidaklah akan pernah terealisir dalam kehidupan ummat , kecuali dengan adanya imam yang melaksanakannya dan mengembalikan semua persoalan kepada pedoman Al-Qur’an dan Al – Hadits yang merupakan ketetapan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul – Nya .
    Di dalam kitab Al – Islaam Wa Al – Khilaafah halaman 294 Dhiyaauddin berkata : “ . . . . Sesungguhnya para ulama kaum muslimin telah menjelaskan secara gambling dan eksplisit bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mempunyai dua tugas penting yaitu : Pertama , bertabligh ( menyampaikan ) risalah Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagaimana telah di wahyukan kepada beliau . Ke dua , menjadi imam dan pemimpin kaum muslimin dengan menjaga kemaslahatan (kebaikan ) mereka , serta melaksanakan hukum – hukum yang telah di syariatkan”
    Di dalam kitab Al-Islaam Wa Audhaaunaa As Siyaasiyyah halaman 19 Abdul Qadir Audah mengatakan : Islam bukanlah sekedar agama ritual . Islam adalah diin dan daulah . sebab setiap perintah ( Amr ) di dalam Al-Qur’an pada dasarnya menghajadkan realisasi kongkrit pelaksanaannya , dalam skala yang luas segala bentuk peraturan akan terlaksana dengan mulus jika dibawah naungan hukum Islam yang suci dan pemerintahan Islam yang sengaja ditegakkan untuk melaksanakan semua perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala .
    Islam bukanlah hanya sekedar Agama yang statis dan hanya terpaku pada kegiatan – kegiatan rutinitas ritual , akan tetapi ia sebagai konsep totalitas yang mengatur seluruh gerah manusia baik dalam dimensi Vertikal ( hubungan dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala ) , dimensi horizontal ( hubungan sesame manusia ) dan dimensi diagonal ( hubungan dengan alam lingkungannya ) . Islam adalah agama dan Daulah .
    Al-Qur’an juga bukan sekedar mengatur para terpidana dan orang – orang yang berbuat kejahatan ( seperti mencuri atau membunuh ) , tetapi ia datang untuk menegakkan kebenaran dan keadilan mahkamah serta meluruskan perilaku menyimpang dari aplikasi hukum tersebut . Jika Al-Qur’an telah mewajibkan kepada semua orang Islam untuk menegakkan nash dan pelaksanaannya secara konsisten , itu berarti bahwa Al-Qur’an menghendaki penegakkan hukum secara konstitusional dalam sebuah daulah ( Pemerintahan Islam ) sebagai institusi pelaksana hukum – hukum yang ingin ditegakkan itu , jika hukum yang ingin ditegakkan itu adalah hukum Islam maka institusinya lahir dari system yang Islami yaitu system kekhilafahan . inilah yang menjadi target dari urgensi berdirinya khilaafah islamiyyah ( system pemeritahan Islam ) .
    Agama dalam konsep Islam merupakan dimensi yang sangat urgen bagi daulah , sebagaimana juga daulah merupakan elemen yang sangat strategis dalam berkembangnya ajaran Agama . Ajaran Agama tidak akan mengkin tegak sempurna tanpa daulah sebagai pengayom dan pelaksana , sebagimana daulah tidak akan berjalan dengan baik tanpa adanya agama sebagai benteng dan perekat antara masyarakat / umat dan penguasanya .
    Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah merupakan proto type satu – satunya diantara sekian rasul yang mampu mengkombinasikan dan mengintegrasikan serta mengkompromikan di dalam hidupnya antara tugas da’wah dengan kewajiban hukum dan kepemimpinan . Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hadir sebagai pemberi petunjuk , pemberi berita gembira , pemberi peringatan dan beliau pun hadir sebagai sosok hakim , komandan bala tentara kaum muslimin . Ringkasnya , bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah pemimpin umat ( qaaid al – ummah ) , hakim jemaah ( haakim al- jamaa’ah ) dan pemimpin pemerintahan ( imam ad – daulah ) disamping beliau juga sebagai pemberi peringatan bagi semesta alam , pemberi berita gambira dan muballig untuk manusia semuanya .
    Kaum muslimin dari setiap generasi sepakat bahwa upaya untuk penegakkan elemen – elemen dasar yaitu : membangun umat ( iqaamah alummah ) , membangun negara ( iqaamah ad-daulah ) dan penerapan syariat ( tathbiiq asy- syari’ah ) tidak bisa dilepaskan dari kewajiban mengangkat seorang imam atau khalifah .
    Muhammad Al-Gazali di dalam Ma’rokah Al- Mushhaf halaman 68 berkata : “Sesungguhnya kami sedang mensucikan diri pada kerja siyaasah al-tabligh (strategi tabligh ) yang menyelamatkan dan membuang jauh-jauh praktek yang tidak menunjukkan sifat-sifat positif konstruktif ( sebagaimana yang telah di ajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ) . kami kira sudak banyak paparan yang mengemukakan analisis yang mendalam dari berbagai ulama terkemuka , baik generasi awal maupun generasi terakhir saat ini , bahkan kami telah menulis sederet nasehat untuk mereka yang masih memiliki hati nurani, bahwa sesungguhnya urusan agama ini adalah sangat urgen ( penting ) dalam kehidupan umat manusia , khususnya umat Islam . Dan yang perlu diketahui setiap manusia , pemisahan agama ( Islam ) dari Daulah ( sistem khilafah ) adalah hal yang tidak pernah dikenal dalam tradisi ulama salaf yang sholeh . Karena kedua hal tersebut , Diin ( agama Islam ) dan Daulah ( pemerintahan khilafah ) seperti dua sisi mata uang yang saling melengkapi dan saling mengisi . Maka dari itu saya berkata :
    Islam tanpa Daulah
    Bagaikan
    Pohon tanpa buah
    Atau
    Jasad tanpa roh
    CITA – CITA LUHUR UMAT ISLAM :
    Sebuah hadits shahih dari Nu’man bin Basyir ia berkata : “ Kami sedang duduk – duduk di masjid Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam , sedang basyir adalah orang yang sangat mencukupi haditsnya . Lalu datang Abu Tsa’labah sembari berkata : “ Ya Basyir ibn Said , apakah kamu hafal hadits Rasulullah tentang umara ? , “ berkata Huzaifah : “ saya hafal huthbah beliau .” lalu duduklah Abu Tsa’labah , selanjutnya Huzaifah dengan penuh rasa takut berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
    1 . Hendaklah kamu sekalian menjadikan nubuwwah ( kenabian ) itu sebagai
    sumber inspirasi . Karenanya tegakkanlah ia dan dirikanlah .
    2 . Al – Khilafah ( pemerintahan ) itu hendaklah berdasarkan manhaj nubuwwah
    ( methode kenabian ) . Tegakkanlah ia dan realisasikanlah dalam amal nyata .
    3 . Seorang pemerintah hendaklah mampu menjadi sosok pribadiku . Tegakkan dan
    Buktikan dengan pancangan yang kokoh kuat .
    4 . Jadilah pemerintah yang mempunyai wibawa dan kekuatan untuk memaksa
    ( menjadi sumbu yang mampu mempersatukan seluruh kekuatan tanpa
    memandang perbedaan dalam segala bentuknya ) . Buktikanlah ini semua dan
    tegakkan serta tinggikan setinggi – tingginya .
    5 . Hendaklah Al – Khilafah hadir dengan metode kenabian
    Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad , Abu Daud dan Turmudzi yang dipetik dari kitab Fthul Barri jilid XIII halaman 214 .

  7. klo ngomong islam ak sangat tertarik karena slama ini ak islam ktp, bravo islam bravo nu bravo muhammadiyah bravo patriot patriot pejuang penyebar islam.

  8. ini bukan masalah selama ibadah yang dilakukan sesuai dengan al-qur’an dan hadis, tetapi kalau pedomannya adalah tokoh agama saja ini baru masalah

  9. Mas Ahmadi yang pandai, berpandangan luas, yang berperilaku baik dan tidak picik pandangannya dan yang bermadzhab al-bani. mbok yo ngaca dulu sebelum ngomong. Islam adalah ramat lil alamin, bukan orang-orang yang suka membunuh dan membantai muslim lain, almuslim man salimal muslimun biyadihi wa lisanihi.

  10. bertaqwallah kpd Alloh ya Akhi belajarlah ilmu secara utuh jgn terkurung pikiranmu dg mazhab kebenaran ada pada salafussolih ahlussunnah waljamaah,adapun aswaja versimu adalah mazhab asyariah wamaturidiyyah klaimmu kpd ahlussunnah sngat lucu kau mengaku mazhab syafiiyah juga jauh panggang dari api perilakumu dlm ibadah jauh sekali dg imam syafi,i baca kitab al uum dunia islam mentertawai klimu tsb sufy adalah mazhabmu cara berpikirmu picik.

  11. sebagai seorang muslim, saya mendukung lahirnya NU, karena dapat membantu umat islam dalam penyabaran agama yangt kita cintai ini………….

    berjayalah terus ISLAM amin

Tinggalkan Balasan ke kangmahfudz Batalkan balasan